Al-Qur’an membawanya
Keliling Kota
Adityo Wiwit Kurniawan 14 Tahun (16 Juli 2000) = Faizin
Suatu hari di salah satu desa di
Kabupaten Tegal, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Faizin. Ia
dilahirkan dikeluarga yang lumayan berkecukupan. Ayahnya bernama Al-Farizi dan
ibunya bernama Syarifah Nadia. Mereka sangat bahagia dengan kelahiran sang buah
hatinya. Sejak kelahiran sang buah hatinya, ayahnya pun semakin giat bekerja
demi memenuhi kebutuhannya. Ibunya selalu mendoakannya agar menjadi anak sholeh
dan berbakti kepada orang tuanya.
Seiring berkembangnya waktu, Faizin
pun dimasukkan ke sekolah TPA yang
ada di desanya oleh ibunya waktu ia berumur
5 tahun dan dibelajari mengaji oleh ibunya. Ibunya selalu memantau ia saat ia
belajar di TPA. Ibunya selalu mengantar dan menjemput Faizin saat ia belajar di
TPA. Bacaan-bacaan Al-Qur’annya mulai terbentuk saat ia berumur 6 tahun. Ibunya
berpedoman kepada Faizin “Tiada hari tanpa mengaji”. Pedoman itu membuat
semangat Faizin dan membuatnya lebih giat lagi untuk belajar mengaji di
TPA. Selain bersekolah di TPA tersebut,
ayahnya menyuruh untuk mengaji di salah seorang guru mengaji di desanya. Faizin
pun menuruti nasihat ayahnya. Pada usia 7 tahun, bacaan Al-Qur’annya mulai
bagus, hafalan suratnya lumayan banyak. Ibunya ingin sekali Faizin bisa membaca
Al-Qur’an dengan sangat lancar.
Faizin pun masuk ke sekolah dasar,
yang sebelumnya sudah disekolahkan oleh ibunya di TK saat ia berumur 6 tahun.
Prestasi belajarnya mulai meningkat dan mulai kelihatan, ia berhasil menduduki
peringkat 1 dikelasnya. Nilai Agama Islamnya pun sebanding dengan nilai-nilai
lainnya. Materi-materi Agama Islam mulai banyak yang dikuasai oleh Faizin.
Hafalan Al-Qur’annya juga lumayan banyak. Ibu dan ayahnya selalu memantau
perkembangan Faizin dalam bidang agama maupun dalam Prestasi di SD. Saat ia di
kelas 4 SD, Faizin mulai banyak mengikuti lomba dalam bidang akademik. Dari
mulai Lomba MIPA, Siswa Teladan, LCC, Pidato Bahasa Inggris, Pidato tentang
Agama Islam, Pesta Siaga, sampai Lomba BTQ dan PAI. Ia memperoleh juara cukup
banyak. Guru Agama Islamnya memberi saran kepada Faizin “ Kamu belajar Ilmu
Tilawah dan Tartil aja Faizin “. Faizin pun tertarik dengan saran gurunya. “
Saya pengin sekali bu, tapi saya tidak tau apa itu tilawah dan tartil, dan
tidak ada yang mengajari saya “ Ujar Faizin. “ Nanti ibu yang mengajari kamu “
jawab gurunya. “ Beneran bu?, yaudah saya mau banget belajar tilawah dan tartil
sama bu guru “ jawab Faizin.
Hari demi hari ia lalui, setiap
sepulang sekolah ia belajar tilawah dan tartil di guru Agama Islamnya. Lagu
tilawah dan tartilnya mulai terbentuk, suaranya pun cukup bagus. Sampai ia
kelas 6 pun ia masih belajar tilawah di guru agamanya. Di guru mengaji di
desanya pun ia meminta untuk belajar tilawah dengan mengundang ustad untuk
memprivatnya. Di suatu hari, ustadnya berkata “ kamu sepertinya mempunyai bakat
Faizin “ ujar ustadnya kepada Faizin. “ Amin “ balas Faizin. “ Iya, dengan
terus berlatih dan belajar, Insya Allah kamu akan mendapatkan hasilnya “, jawab
ustadnya lagi. Kata-kata motivasi dari ustadnya tersebut membuat semangat
Faizin. Ia terus belajar dan berlatih.
Setelah
ia menginjak ke jenjang SMP, ia pun sering mengikuti lomba di bidang tilawah Al-Qur’an.
Ayahnya memanggil guru tilawah untuk memprivatnya. Sejak kelas 1 SMP ia pun
banyak menerima panggilan mengaji, dari mulai pedesaan, perkotaan, luar daerah,
sampai tempat pelosok yang sangat jauh dari perkotaan. Berkat kerja keras
bimbingan, motivasi dan dukungan dari berbagai pihak, Faizin pun mendapat
sedikit hasil dari jeri payahnya selama ini telah belajar tentang agama Islam
dan Seni Al-Qur’annya. Dia sangat aktif di bidang keagamaan yang ada di
sekolahnya. Setelah ia naik ke kelas 2 SMP, ia dipilih untuk menjadi ketua
Rohis di sekolahnya. Ia juga sangat aktif di OSIS khususnya di bidang
keagamaan. Ia sering mengaji dalam
acara resmi yang diadakan oleh sekolah. Panggilan untuk mengaji pun semakin
banyak, mulai banyak orang mengenalnya, khusunya di kalangan remaja.
Berbagai pengalaman tentang mengaji banyak yang ia
lalui. Pernah seketika itu, ia mendapat panggilan mengaji di salah satu desa
yang sangat terpelosok, desa tersebut sangaaaaaat jauh dari perkotaan, tepatnya
di kabupaten Brebes. Dinginnya malam tak ia hiraukan, lebatnya hutan ia lalui,
gelapnya hutan tak jadi penghalang, jauhnya perjalanan ia nikmati. Perjalanan
menuju ke desa tersebut terhenti, karena harus melewati sungai yang sangat luas
dan lebar, airnya pun lumayan dalam. Mobilnya terhenti, ia menunggu selama beberapa
menit untuk berpikir agar bisa melewati derasnya aliran sungai yang sangat
lebar dan dalam tersebut. Tanpa berpikir lama dan apa boleh buat ia harus
melewati sungai itu dengan mobilnya, rasa takut pun melintas di pikirannya.
Setelah berhasil melewati sungai tersebut, mobilnya terhenti lagi, karena ia
juga harus melewati bukit yang lumayan tinggi. Mobilnya berulang-ulang kali
menaiki bukit tersebut, tapi tetap saja tidak bisa. Ayahnya berpikir lama untuk
bisa menaiki bukit tersebut. Arah jam menunjukkan sudah pukul 20.00 saat itu.
Ia khawatir karena acaranya akan segera dimulai. Akhirnya, ayahnya berhasil
menemukan beberapa jalan untuk menaiki bukit tersebut. Jalan pertama ia coba
beberapa kali, tetap saja tidak ada hasil, begitu pula jalan ke dua...
Akhirnya, mereka berhasil menaiki bukit tersebut dengan melewati jalan ke tiga.
Setelah berhasil menaiki bukit tersebut, ia harus melewati jalanan yang
kondisinya sangat parah. Perjalanan pun semakin lama untuk menuju ke tempat di
mana berlangsungnya acara. Tapi, apa boleh buat ia harus melewatinya.
Perjalanan dari menaiki bukit menuju lokasi berlangsungnya acara lumayan jauh.
Setelah lamanya perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di tempat
berlangsungnya acara... Perjalanan yang mempertaruhkan nyawa tersebut terobati
karena melihat pengunjung acara tersebut sangatlah banyak. Semangatnya untuk
mengaji di acara tersebut semakin tinggi. Tibalah saatnya sang pembawa acara
menyebut namanya. Akhirnya, ia tampilkan sekuat tenaga kemampuan yang
dimilikinya. Seluruh pengunjung acara tersebut terdiam dan melantukan lafadz
“Allah”. Sesaat Fazin mengambil nafas, dan mulai melanjutkan ayat yang
dibacanya. Saat Faizin membacakan Al-Qur’an se-ayat demi se-ayat, seluruh
pengunjung seperti tersihir dan dibawa
ke angkasa dan secara perlahan lahan diturunkan, setelah sampai di bumi,
pengunjung serasa di ayun-ayunkan di tengah hamparan taman yang sangat luas dan
sejuk. Para pengunjung terkagum-kagum oleh suaranya yang sangat luar biasa.
Setelah acara tersebut selesai, akhirnya, Faizin pun
memutuskan untuk pulang walaupun jarum jam menunjukkan angka 23.30 malam. “Melihat
pengunjungnya yang sangat banyak tersebut, saya senang walaupun perjalanan
menuju ke sini sangat luar biasa. Karena mereka sangat antusias sekali untuk
datang ke tempat pengajian umum ini.” Ujarnya. Walaupun Faizin sering di
panggil untuk mengaji, ia hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa dan
kesalahan, ia tidak sombong, ia tetap rendah hati dan bergaul dengan
teman-temannya seperti remaja pada umumnya. Pedoman ia “Tiada gading yang tak
retak” artinya bahwa tiada manusia yang sempurna. Rencananya setelah lulus di
SMP ia akan melanjutkan ke Pondok Pesantren yang ia telah idam-idamkan sejak
lama, yaitu Ponpes Al-Qur’an Ummul Quro’ di Tangerang milik idola beratnya
yaitu KH. Muammar ZA. Ia akan terus mengejar cita-citanya yaitu membahagiakan orang
tua sampai kapanpun, berguna bagi siapapun, mengembangkan Ilmu Al-Qur’an dan
tentunya ia ingin sekali menjadi Qori Internasional.
~ Sekian ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar